Siraman Rohani
Bismillaahirrohmaanirrohiim, Pada hakikatnya, salah satu dasar tegaknya suatu ibadah (penghambaan) adalah : adanya rasa syukur kepada Allah. Karena tanpa adanya rasa syukur, ibadah akan terasa membebani karena menganggap ibadah sebagai suatu kewajiban, yang bila ditinggalkan akan mengandung resiko (azab). Karena takut menanggung resiko inilah, orang melakukan ibadah dengan terpaksa. Padahal sesuatu yang dikerjakan dengan terpaksa, sesungguhnya dia dalam keadaan tersiksa walaupun sifatnya ringan. Diumpamakan orang yang melakukan suatu pekerjaan, tapi dia tidak menyenangi apa yang dikerjakannya itu, maka tanpa sadar dia telah tersiksa dengan pekerjaannya. Demikian juga dengan orang yang bekerja, tapi yang ditunggu-tunggu hanyalah gaji setiap akhir bulan, maka jelas selama dia menunggu itu dia dalam keadaan tersiksa. Padahal tanpa ditunggupun, gaji yang keluar setiap akhir bulan itu akan datang juga. Nah, beribadah karena takut menanggung resiko maupun beribadah karena mengharapkan balasan, maka ibadah itu jelas tidak dilakukan dengan senang hati. Jika ibadah itu tidak dilakukan dengan senang hati, maka ibadah itu tidak mengandung unsur keikhlasan dan berakibat rusaknya ibadah tersebut.. Yang sangat disayangkan, kebanyakan umat Islam tidak memperdulikan siksaan-siksaan kecil yang dideritanya saat beribadah atau menjalani pengabdian kepada Tuhannya. Padahal sesungguhnya, siksaan-siksaan kecil dan ringan (seberat zarrah) saat didunia, akan membuahkan siksaan atau azab yang sangat besar dan sangat berat diakhirat nanti jika tidak mendapat ampunan Allah. Karena siksaan didunia adalah tanda yang jelas akan mendapat siksaan diakhirat nanti. Oleh sebab itu, alangkah baiknya jika sebelum melaksanakan ibadah, kita kondisikan diri dan kita bangkitkan kesadaran diri dengan menyadari posisi kita sebagai seorang hamba. Karena tanpa pengupayakan hal ini, selamanya nilai-nilai ibadah kita tidak mampu menembus langit yang berlapis-lapis (7 langit), apalagi sampai ke hadirat Allah. Disinilah pentingnya menumbuhkan rasa syukur, agar penyembahan kita kepada Allah bukan lagi merupakan sesuatu yang membebani, tapi atas dasar kebutuhan jiwa. " Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni`mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah " S. An Nahl 114. Sesungguhnya, timbulnya rasa syukur adalah karena adanya rasa senang atau bahagia. Dan rasa bahagia akan bisa diperoleh jika apa yang diharapkannya terwujud. Seseorang yang telah mendapatkan apa yang disenangi atau diharapkannya dari orang lain, akan merasa mempunyai hutang budi kepada orang yang telah menolongnya itu. Oleh sebab itu ucapan terima kasih atau Alhamdulillah, secara spontan meluncur dari mulutnya tanpa ada yang memerintahkannya. Namun sesungguhnya, didalam hatinya tersimpan keinginan untuk membalas budi. Dengan demikian ucapan terima kasih saja belum cukup untuk memenuhi keinginan hatinya, yaitu : membalas budi. Karena itu jika ada kesempatan untuk membalas budi dengan perbuatannya (melalui pengabdian), maka dia akan melakukannya dengan senang hati (rela). Jika hal itu terjadi, akan puaslah jiwanya karena dia telah mampu membayar hutang budi yang telah diterimanya. Demikianlah sifat dasar manusia, yang walau bagaimanapun masih mempunyai kesusilaan. Hati yang sekeras apapun, akan menjadi luluh dan lembut oleh kelembutan hati orang yang membantu meringankan kesulitannya. Dengan demikian, membalas budi (sebagai ungkapan rasa syukur) adalah merupakan kebutuhan dasar jiwa manusia yang wajib segera dipenuhi. Sebab jika tidak dipenuhi, dia akan merasa memiliki hutang (budi), dan itu adalah siksaan yang menyiksa batinnya. Nah, semua ini adalah kejadian umum yang terjadi antara sesama manusia yang saling tolong menolong berupa harta benda atau dalam wujud perbuatan yang tampak nyata (kasar), karena dikerjakan oleh jasad kasar manusia. Lalu bagaimana dengan sikap syukur kita kepada Allah ? Permasalahannya adalah : Kita tidak dapat melihat atau membuktikan secara langsung Perbuatan (Af ‘al) Nya Allah didalam memberikan apapun kebutuhan lahir dan batin kita. Karena (Af ‘al Nya) Allah Maha Halus sehingga tidak dapat ditangkap oleh panca indera lahir dan alam logika. Sedangkan kita yang sudah terbiasa menggunakan panca indera lahir dan gerak anggota tubuh, merasa seolah-olah semua gerak lahir dan batin kita itu adalah murni aktifitas kita, tanpa ada Peran Allah secara nyata. Untuk itulah diperlukan hati yang hidup, yaitu hati yang bisa melihat, mendengar dan merasakan Sifat Maha Pemurah Nya Allah. Jika hati telah hidup dan mampu membuktikan bahwa Allah benar-benar Maha Pemurah terhadap kita, maka tidak ada sesuatupun yang pantas kita ucapkan kecuali berkata : Alhamdulillah, dan tidak ada yang pantas kita lakukan kecuali menyembah Nya. Karena Alhamdulillah hanyalah ucapan syukur yang kosong jika tidak diikuti penyembahan yang tulus secara lahir dan batin. Karena kita yang diciptakan dari keadaan yang tidak ada menjadi ada, hanyalah semata-mata untuk mengabdi kepada Nya. Karena telah memperoleh sarana dan prasarana hidup yang semuanya diciptakan oleh Allah untuk kebahagiaan kita, maka tidak ada yang layak kita lakukan untuk mensyukuri (membalas budi) nikmat Allah ini kecuali dengan jalan mengabdi kepada Nya. "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah ( mengabdi kepada) Ku " S. Adz Dzaariyaat 56. Disini jelas bahwa penyembahan (penghambaan) yang kita lakukan kepada Allah adalah atas dasar rasa syukur karena semua wujud dan potensi diri ini seluruhnya diciptakan Allah. Jadi ada hubungan yang sangat erat antara penciptaan (sebagai pemberian Allah) dengan penyembahan sebagai balas budi manusia, walaupun Allah tidak mengharap untuk dibalas. Jika rasa syukur ini yang mendasari pengabdian kita kepada Allah, maka akan tercapailah penyembahan yang tulus dan ikhlas. Dengan demikian pengabdian kita kepada Allah, sudah bukan lagi sebagai sesuatu yang mustahil atau dikerjakan tapi dengan berat hati, karena kita telah memperoleh kebahagiaan terlebih dulu, yaitu telah memperoleh apa yang kita butuhkan dalam menjalani hidup. Dengan kata lain, Allah telah memberikan bonus Nya terlebih dulu kepada kita sebelum kita diperintah untuk menyembah Nya. Oleh sebab itu, seandainya manusia benar-benar mengetahui hakikat dirinya yang tidak mempunyai daya dan kemampuan apapun (S. Ash Shaffaat 96), niscaya dia akan betul-betul mengetahui Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Yaitu sebagai Dzat yang telah memberikan dan menciptakan apapun wujud dan semua potensi dirinya. Seandainya manusia betul-betul mengenal Allah sebagai Tuhan (Pencipta), niscaya dia akan benar-benar bersyukur kepada Nya, dan rasa syukurnya itu akan ditumpahkan kedalam bentuk penghambaan yang tidak mengandung tendensi. Karena rasa syukur itu tidak cukup hanya diucapkan dengan berterima kasih, tetapi akan lebih memuaskan hati jika dibalas dengan perbuatan, yaitu melalui ketaatan (pengabdian). Diibaratkan seorang hamba sahaya yang sangat miskin, tapi semua kebutuhan hidupnya telah dipenuhi oleh tuannya dengan sempurna, maka akan ada dorongan yang sangat kuat untuk mengabdi dengan total tanpa disuruh dan tanpa mengharapkan balas jasa. Karena tuntutan balas jasa itu akan muncul jika dia melakukan suatu perintah atau ketaatan yang tidak diawali oleh adanya suatu pemberian dari yang memerintahkannya. Tetapi karena sebelum Allah memerintahkan pengabdian itu Dia telah mencukupi (menciptakan) semua kebutuhan hidup manusia (S. An Nahl 114), maka sangatlah keterlaluan jika manusia itu mengharap balas jasa atas pengabdiannya. Mengharap kepada Allah memang diharuskan, tetapi mengharap imbalan karena kita merasa telah beribadah kepada Nya, itulah yang kurang beretika. Karena pada hakikatnya, kita yang menjadi mampu beribadah, adalah karena karunia Allah juga. Yaitu dikaruniai keimanan, dikaruniai waktu luang, dikaruniai kekuatan dan kemampuan, dikaruniai kesadaran untuk menyembah, dan banyak sekali karunia-karunia Allah sehingga kita mampu menegakkan peribadatan.
Dengan demikian ibadah kita bukan murni atas inisiatip dan kemampuan diri. Oleh sebab itu ketika suara adzan menyeru kita untuk mengerjakan sholat, " Hayyaalal sholaah ", (marilah sholat), kita menjawabnya dengan mengucapkan : " Laa haula walaa quwwata illabillaah ", " Tidak ada daya dan kemampuan kecuali dari Allah ". Ini artinya : Apalah arti diri kita jika Allah tidak menjadikan kita sebagai makhluk yang bisa menyembah Nya. Dengan demikian, pada hakikatnya sholat kita itu adalah pemberian Allah juga yang tidak pantas kita akui sebagai hasil jerih payah kita sendiri. Hanya saja kita tidak merasa bahwa hal itu adalah Karunia Allah, karena kita menganggap karunia itu hanyalah dalam bentuk yang sesuai dengan keinginan (hawa nafsu) kita. Padahal jika Allah memberikan Karunia kepada manusia, Allah memberikan yang terbaik menurut Kehendak Nya, bukan menurut kehendak hawa nafsu manusia itu sendiri. Jadi pada hakikatnya, ibadah (pengabdian) kita kepada Allah adalah Anugerah Allah.
Karena itu, alangkah indahnya jika dalam melaksanakan ibadah kita tidak mengharap balasan apapun dari Allah. Alangkah tulusnya jika dalam menjalani pengabdian itu kita hanya berharap agar Allah Senang (mengharap Ridlo Nya). Jika Allah telah Ridho, maka jelas dan pasti Allah akan menambah nikmat Nya dalam tingkatan yang lebih tinggi lagi. " Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" S. Ibrahim 7. Mensyukuri nikmat dengan beribadah secara sungguh-sungguh dan rela hati, pasti akan mendatangkan nikmat-nikmat Allah yang lain. Diumpamakan seorang petani yang diberi nikmat sehat, lalu kekuatannya itu digunakan bekerja mencangkul sawah, maka dia akan memperoleh tambahan-tambahan nikmat yang lain, yaitu berupa : badannya semakin bertambah sehat, makan apapun terasa nikmat, tidur terasa nyenyak dsb. Semakin keras dia bekerja, semakin sehatlah tubuhnya, semakin cemerlanglah pikirannya dan semakin bahagialah hatinya. Karena kunci hidup sehat adalah keseimbangan antara pemasukan (makan dan minum yang menghasilkan energi) dengan pengeluaran dalam wujud aktifitas. Seandainya nikmat sehatnya itu tidak digunakan untuk bekerja, jelas kesehatannya tidak akan bertambah, bahkan bisa jadi dia akan terserang penyakit. Karena makanan yang masuk kedalam tubuhnya, tidak dikeluarkan dalam wujud aktifitas. Demikian juga jika kita menerima rejeki berupa uang, maka harus dikeluarkan sebagian dalam bentuk zakat dan sedekah, karena didalam rejeki kita itu ada hak orang lain. Semakin banyak yang kita keluarkan, semakin sehat dan bersihlah hati kita serta semakin jauhlah kita dari musibah, baik didunia maupun diakhirat. Jika kita tidak mau berzakat, maka kita termasuk orang yang memakan uang haram, karena telah menggunakan hak orang lain untuk keperluan kita. Oleh sebab itu tidak heran jika banyak orang bakhil yang terkena musibah terus menerus. Jadi intinya, apapun rejeki berupa kenikmatan hidup yang kita yakini berasal dari Allah, wajib kita bersihkan dengan zakat, infak dan sedekah untuk mensyukuri nikmat Allah. Oleh sebab itu, orang yang lalai atau hatinya kurang yakin bahwa semua nikmat hidup itu berasal dari Allah, akan merasa berat dalam menjalani sholat, merasa berat untuk berzakat, merasa berat untuk berpuasa, berat untuk membaca ayat-ayat Allah, dsb. Tidak hanya berupa harta benda, termasuk rejeki dari Allah itu adalah kesehatan tubuh yang harus kita syukuri dengan bekerja dan membantu orang-orang yang sakit. Nikmat kesehatan panca indera dan akal pikiran, yang harus kita syukuri diantaranya dengan melihat, mendengar dan memikirkan ayat-ayat Allah, serta membantu saudara kita yang buta, tuli dan terganggu akal pikirannya (stress). Rejeki dalam bentuk waktu luang yang harus kita syukuri dengan bersilaturohim, dan masih banyak lagi. Semuanya itu wajib kita syukuri dengan beribadah kepada Allah dan berbuat baik dengan sesama agar kenikmatan Allah itu tidak berbuah azab yang pedih didunia maupun diakhirat. Dan yang lebih penting lagi, jika Hablum minalloh dan Hablum minannas bisa kita kerjakan dengan senang hati, akan berbuah tambahan nikmat yang lebih tinggi lagi. Diantaranya yaitu berupa mulai lembut dan hidupnya hati sehingga hati tidak lagi dalam keadaan buta dan tuli terhadap kebenaran dan norma-norma kemanusiaan, serta yang terpenting tidak buta dan tuli terhadap Maha Pemurah Nya Allah. "Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar) " S. Al Israa’ 72. Jika hati telah buta terhadap (Maha Pemurah Nya) Allah, maka hati seperti ini akan bersifat keras sekeras batu. Tanda-tandanya sangat jelas, yaitu adanya iri dan dengki, pendendam, bakhil dan tidak mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap suasana disekelilingnya yang membutuhkan uluran tangannya. Jiwa yang kerdil seperti ini, akan mengukur segala sesuatu hanya dari segi materi duniawi. Dia hanya berbuat kalau ada hasil dan untungnya. Dia akan bertindak jika hanya menyangkut kepentingan diri dan keluarganya saja. Oleh sebab itu tidak heran jika kebanyakan manusia sangat sulit diajak memperdalam agamanya, karena beragama secara baik tidak akan menambah hartanya, tapi malah menguranginya melalui berzakat, berkurban, menimba ilmu yang juga butuh biaya, dsb. Dan baginya, agama hanya cukup dijalankan dengan jasad lahirnya, yaitu melalui ibadah secara lahir, tetapi hatinya dibiarkan kotor mencintai dan menghamba kepada dunianya. Disinilah pentingnya mengetahui Maha Kaya dan Maha Pemurah Nya Allah, agar hati ini menjadi lembut dan halus, menuju kepada Sifat Maha Halus Nya Allah (Al Latief). Dan selagi manusia itu hanya mau memfungsikan panca indera lahir dan jasad tubuhnya yang kasar tanpa pernah mau menghidupkan indera batinnya, maka selamanya dia tidak pernah akan menemukan kebenaran dan kebahagiaan yang hakiki. Lalu bagaimana caranya agar hati kita menjadi hidup dan mampu menangkap Sifat Maha Pemurah Nya Allah ?. Tidak ada cara lain selain membersihkan hati ini dari kotoran-kotoran duniawi dengan memerangi setiap keinginan hawa nafsu yang mengarah kepada kenikmatan badan kasar. Dan yang tak kalah pentingnya adalah : memberikan apa yang dibutuhkan oleh rohani yaitu memberikan pengetahuan (ilmu) ketauhidan dengan jalan membaca tanda bukti Maha Besar Nya (ayat-ayat) Allah didalam menciptakan apapun wujud dan potensi diri. Hawa nafsu yang sudah terkendali, akan membuat hati bisa melihat rahasia-rahasia Allah. Yaitu hati nurani yang muncul kepermukaan, sehingga yang terpandang hanyalah Sifat-Sifat Maha Pemurah Nya Allah didalam memenuhi semua kebutuhan seluruh makhluk Nya. " Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan " S. Ar Rahmaan 29. Nah hati yang buta, tidak akan mungkin bisa melihat Sifat Rahman Nya Allah yang sangat sibuk memenuhi semua permintaan ciptaan-ciptaan Nya. Karena yang membuat hati menjadi buta adalah kecintaan dan arah pandang yang hanya ditujukan kepada dunia dan segala kemewahannya. Akan tetapi, kita tidak cukup hanya sekedar memerangi hawa nafsu, yang tidak kalah pentingnya adalah mengalihkan arah pandang kita dari dunia (kecuali sebatas kebutuhan) kepada akhirat dengan cara seringkali membaca ayat-ayat Allah sebagai cahaya hati. Karena cahaya hatilah yang menerangi rahasia-rahasia tersembunyi, yang selama ini menutupi (menjadi hijab) manusia dari alam akhirat.
Diumpamakan mata lahir yang bisa melihat indahnya alam dunia, dia hanya akan bisa melihat jika ada cahaya matahari yang menyinari bumi. Tanpa adanya sinar matahari yang sangat terang, setajam apapun pandangan seseorang, tetap saja dia tidak akan mampu melihat. Untuk itulah Allah menurunkan Cahaya Nya dalam wujud Al Qur’an yang berisi tentang ayat-ayat (tanda bukti Maha Besar Nya) Allah. Agar hati yang sudah bersih dan sehat (beriman), mampu melihat kebenaran yang hakiki dengan adanya Cahaya dari Allah (Al Qur”an). " Dan jikalau Kami jadikan Al Qur'an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?". Apakah (patut Al Qur'an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh" S. Fushshilat 44. Al Qur”an atau ayat-ayat Allah, adalah cahaya (petunjuk) yang menerangi kegelapan hidup dan penyembuh (penawar) hati yang sakit. Bagi orang yang hatinya berpenyakit karena kecintaannya kepada dunia dan apapun selain Allah (Allah menyebut sebagai orang yang tidak beriman), telinganya seperti tersumbat atau hatinya tidak menyukai jika dibacakan atau disebutkan nilai-nilai agama kepadanya. "…Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh ", yaitu merasa berat untuk melakukan ibadah yang diwajibkan, apalagi untuk menjalani ibadah sunnah dan berbuat baik dengan sesama (hablum minannas). Disinilah pentingnya berjihad melawan hawa nafsu, agar hati menjadi bersih dari sifat egoisme dan sebagai tempat limpahan Sifat-Sifat Maha Pemurah Nya Allah (qolbu mukmin baiturrohman).
Dengan demikian, melaksanakan suatu pengabdian yang ditegakkan oleh seorang mukhlis, tidak lagi dikotori oleh sikap yang mengharapkan balasan berupa pahala dan surga. Tidak cukup hanya sampai melaksanakan pengabdian yang bersifat wajib saja, bahkan orang yang benar-benar tahu keadaan dirinya (tahu diri), akan berbuat lebih dari itu. Yaitu akan meneladani Akhlak-Akhlak Allah yang penuh dengan Kemuliaan, dan memiliki etika serta sopan santun yang sangat tinggi, baik dihadapan Allah maupun sesama. Orang yang dekat dengan Allah, pasti akan tertulari Sifat-Sifat Maha Terpuji Nya Allah. Yaitu sangat senang memberikan cahaya yang menghilangkan kegelapan makhluk Nya. Tetapi orang yang dekat dengan (harta) dunia dan apapun selain Allah, akan bersifat bakhil dan sombong yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Wallohu ‘alam bishshowaab.
|