Mensucikan Jiwa
Bismillaahirrohmaanirrohiim, Ditengah masyarakat, ada istilah umum yang bersifat sindiran bahwa : Ibadah haji didalam rukun Islam sekarang ini seolah-olah telah turun keperingkat 6, karena posisinya telah diambil alih oleh yang namanya : Membeli mobil. Ini adalah sindiran secara halus yang ditujukan kepada orang-orang yang mengaku muslim, tetapi lebih mengutamakan membeli mobil dari pada kewajibannya untuk menunaikan haji. Walaupun pada akhirnya mereka berhasil menunaikan ibadah haji, tapi yang menjadi persoalan adalah : lebih mendahulukan membeli mobil dari pada ibadah haji. Ini hanya salah satu contoh dari berbagai jenis prioritas keduniaan yang mengalahkan nilai-nilai luhur agama didalam jiwa seseorang. Yang jadi pertanyaan adalah : apakah benar nilai-nilai agama telah bergeser kepada nilai-nilai materialistis didalam jiwa umat Islam ? Atau, ada apa didalam dada seseorang itu, sehingga kewajibannya dalam menjalani rukun Islam yang ke 5 itu dikalahkan oleh keinginan hawa nafsunya ?. Jaman dahulu, orang begitu bangga jika sudah berhasil menunaikan ibadah haji. Artinya : mereka bahagia karena berhasil mengalahkan hawa nafsunya dengan berkorban waktu, tenaga dan mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk memenuhi panggilan Allah. Tetapi orang (modern) sekarang, kebanggaannya justru terletak pada kemewahan gaya hidup dengan memiliki mobil atau rumah mewah. Jika ada yang membantah : Apakah hal ini termasuk sebuah dosa ? Memang bukan suatu dosa, tetapi yang namanya ber-Takbir, adalah me-Maha Besar-kan Allah. Artinya : membesarkan atau mengutamakan Seruan dan Perintah Allah dari pada mentaati setiap keinginan diri yang mengarah kepada kesenangan dan kebanggaan hidup. " Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami…... " S. Al Furqoon 43-44. Salah satu arti menyembah adalah tunduk patuh dan mentaati apapun yang diperintahkan oleh yang disembah (diper-tuhankan) nya. Berbuat karena menuruti keinginan diri (terutama yang menyenangkan dan enak), disebut Allah sebagai menyembah (memper-tuhankan) hawa nafsunya. Disini kita tidak membicarakan masalah dosa dan pahala, tetapi mempersoalkan syrik khofi (halus) yang hampir setiap saat selalu menyertai kita tanpa kita sadari. Seperti sabda Nabi saw. : " Syrik itu seperti seekor semut hitam, berjalan diatas batu yang hitam, ditengah kegelapan malam ". Artinya : kita tidak bisa mengetahui adanya syrik hanya dengan kacamata logika kecuali dengan pengetahuan (ayat) yang mendalam disertai penghayatan dan kesadaran diri. Dengan kata lain, masalah syrik itu tidak bisa diperdebatkan dengan akal pikiran tanpa merasakan sendiri melalui bukti atas sikap dan perbuatan kita, terhadap makna suatu ayat yang menerangkan masalah syrik itu sendiri. Disini yang berbicara adalah kesadaran hati melalui perenungan dan penghayatan. Seperti semua uraian diatas, jika kita hanya membacanya seperti membaca koran (tanpa penghayatan), sudah pasti hati kita akan menolak karena tidak sesuai dengan keyakinan kita selama ini, dan (yang berbahaya) tidak sesuai dengan keinginan kita. Disinilah pentingnya mendidik jiwa dengan pengetahuan-pengetahuan akhirat (gaib) agar akal pikiran ini tidak hanya mampu menjangkau alam (dunia) yang tampak nyata dan berwujud kasar, tetapi yang terpenting adalah mampu memahami makna terdalam dari suatu dalil (ayat). Dengan demikian, kita tidak hanya menjejali diri kita dengan pengetahuan dunia yang mengakibatkan kita termotifasi untuk meraih dunia sebanyak-banyaknya, tetapi kita wajib memberikan konsumsi kepada jiwa kita dengan ilmu akhirat yang membuat kita memiliki motifasi yang kuat untuk meraih kebahagiaan dan ketentraman hati, serta termotifasi untuk melakukan pangabdian dengan sungguh-sungguh dan ikhlas kepada Allah. Jadi jiwa ini perlu dididik agar mempunyai kendali diri terhadap hal-hal yang tidak disenangi (di Ridloi) Allah. Yaitu keinginan-keinginan yang serba enak, mudah dan menyenangkan terhadap dunia untuk konsumsi lahiriahnya. Karena jika Allah tidak suka terhadap sikap dan perbuatan seseorang, maka pintu hatinya tidak akan dibuka untuk menerima kebenaran (Petunjuk), "…apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami…... " Berawal dari sini, maka tidak ada jalan terbaik dan lebih selamat selain mengalihkan pusat perhatian kita kepada ‘membaca’ ayat-ayat Allah dari belenggu pengetahuan dunia, yang terbukti tidak pernah sekalipun membawa kita kepada keberkahan hidup (ketenangan jiwa). Ini yang disebut berhijrah, yaitu berpindah dari syrik menuju Iman (tauhid). Perlu disadari bahwa yang namanya pusat perhatian manusia itu hanyalah satu. Kalau perhatian seseorang itu banyak, pasti ada salah satu yang menjadi pusatnya. Nah jika pusat perhatiannya hanya tertuju kepada kesenangan jasmani yang berhubungan dengan duniawi, maka kebahagiaan rohani yang berkaitan erat dengan (keselamatan) akhirat akan terabaikan dan dinomer dua kan. Jika konsentrasinya hanya terpusat kepada konsumsi kasar jasad lahiriahnya, maka dia akan mengabaikan sektor batiniahnya yang sesungguhnya juga membutuhkan konsumsi. Yaitu sesuatu yang sangat halus berupa pengetahuan (ayat-ayat) yang membuat jiwanya sadar dan termotifasi untuk menghamba. Karena Allah ber Sifat Maha Halus (Al Latif) dan harus didekati dengan kehalusan jiwa (hati) yaitu halusnya sikap dan budi pekerti (akhlak terpuji). Pada kondisi perhatian yang terpusat pada faktor dunia, orang akan sulit mengendalikan tuntutan-tuntutan hawa nafsunya. Dan tanpa sadar, penghambaannya kepada Allah telah dikalahkan oleh unsur duniawi yang terlanjur disukainya. Lalu apa yang membuat manusia sangat mudah sekali mencintai dan menghamba kepada selain Allah, disamping dia sendiri telah mengaku sebagai hamba Allah (sikap mendua) ? Penyebab utamanya tidak lain adalah : manusia cenderung memperhatikan keindahan alam dunia yang tampak nyata ini hanya dengan panca indera dan akal pikirannya, tanpa pernah memperhatikan semua itu dengan hatinya. Dari perhatiannya yang terlalu sering dan terlalu fokus, mengakibatkan orang menyenangi dan menginginkan yang tampak indah, cantik, mewah dan nikmat ini. Disinilah manusia itu memiliki kehendak yang amat kuat terhadap dunianya, tapi membenci dan menjauhi apapun yang ‘tampak’ buruk, menyakitkan, dan menyulitkan baginya. Padahal dibalik kesulitan dan kepahitan hidup, terdapat nilai-nilai luhur yang membawanya kepada sikap sabar dan rendah hati (jalan menuju akhirat). " Wanafsiwwamaa sawwaahaa fa alhamahaa fujuurohaa wataqwaahaa qod aflaha man zakkaahaa waqod khooba man dassaahaa ", " dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya " S. Asy Syams 7-10. Penyembahan kepada Allah membutuhkan kesucian rohani selain juga kesucian jasmani. Seperti halnya sholat membutuhkan kesucian diri dengan berwudlu’. Namun apalah artinya suci jasmaninya sedangkan rohaninya masih tetap najis dan kotor ? Oleh sebab itu, prioritas utama kita dalam mengabdi kepada Allah harus dimulai dengan kesucian jiwa. Sesungguhnya apa arti kesucian diri dibalik pengabdian kepada Allah ? Seperti yang kita ikrarkan disetiap sholat bahwa : " Inna sholaati wanuzuuki wamahyaaya wamaati lillaahi robbil ‘aalamiin ", " Sesungguhnya sholatku dan ibadahku serta hidup dan matiku hanyalah untuk (mengabdi kepada) Allah, Tuhan seru sekalian alam ", maka yang namanya pengabdian kepada Allah itu adalah mentaati, tunduk patuh terhadap semua yang diperintahkan dan dilarang Allah tanpa ada sedikitpun sikap membantah. Nah sikap yang tulus ikhlas ini hanya bisa dicapai jika manusia telah mampu menundukkan seluruh keinginan dirinya yang bertentangan dengan apa yang di Kehendaki Allah. Dengan demikian apapun yang akan kita lakukan, hendaknya kita renungkan dulu, apakah hal itu diridhloi Allah atau tidak. "…..Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana " S. Al Anfaal 67. Pada hakikatnya, kehendak diri yang menginginkan, mementingkan dan mengutamakan dunia untuk kesejahteraan hidup inilah sebagai penyebab utama kotornya jiwa manusia. Memang disatu sisi hal ini adalah sikap terpuji, karena tidak merepotkan dan bergantung kepada orang lain. Tetapi dalam kenyataannya, manusia justru menanggung resiko yang amat besar, yaitu tumbuhnya sifat-sifat negatif didalam dirinya. Oleh sebab itu, berawal dari sini, manusia menjadi bersikap individualistis yang tidak lagi menghiraukan kesulitan orang lain (bersifat bakhil dan masa bodoh). Berawal dari sini, orang memiliki sifat iri dan dengki jika melihat orang lain mendapat keuntungan atau kebahagiaan. Dan berawal dari keberhasilannya dalam memperoleh (harta / ilmu) dunia, orang menjadi sombong, tinggi hati, suka menghina (walau didalam hati), bahkan ujub dan takabur. Ini berarti manusia telah berhasil diperbudak oleh hartanya, sehingga hanya mementingkan dirinya sendiri. Manusia telah diperbudak oleh tahta dan kepandaian (ilmu)nya, sehingga dia bersikap tinggi hati dan sombong dihadapan orang yang rendah kedudukan dan ilmunya. Seseorang telah berhasil diperbudak oleh (kecantikan) istrinya, sehingga mau melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Nah, jika penyakit-penyakit hati ini tumbuh subur didalam diri seseorang, mungkinkah dia bisa melakukan penyembahan kepada Allah secara ikhlas ? Jika segala sesuatu selain Allah itu telah berhasil menjadikan manusia sebagai budaknya, mungkinkah orang itu bisa menghamba lurus hanya kepada Allah (bertauhid) ? Karena itu Allah menyebut orang-orang musyrik itu najis (S. At Taubah 28). Dari sini menjadi jelas bahwa yang namanya beribadah kepada Allah, harus didasari oleh kesucian diri, yaitu benar-benar harus meng-Esakan Allah (bertauhid) Oleh sebab itu Syahadat ditempatkan diurutan pertama dalam rukun Islam, sebagai syarat utama tegak dan lurusnya suatu pengabdian. Dengan demikian yang namanya sholat, tidak cukup hanya membersihkan jasad lahiriah dengan berwudlu’. Tetapi yang lebih penting lagi adalah mensucikan jiwa dari sikap syrik dan kemunafikan. Suci seperti bayi yang baru lahir Rasulullah saw. bersabda : " Seorang anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau majusi ". Jika kita cermati seorang bayi yang dikatakan dalam keadaan suci, maka yang jelas kesucian anak bayi itu bukan karena dia telah berwudlu’, tetapi kesucian jiwanya yang tidak terkontaminasi oleh sifat-sifat sombong dan bangga diri serta menyekutukan Allah (syrik). Apa yang membedakan kondisi jiwa anak bayi yang suci itu dengan kita yang banyak dosa? Perbedaan yang paling menonjol adalah : 1. Anak bayi yang baru lahir belum mempunyai penglihatan, pendengaran atau belum berfungsinya seluruh panca indera dan akal pikirannya. Tetapi walaupun demikian, bukan berarti dia tidak mempunyai pengetahuan apapun. Hanya saja dia tidak mengetahui apapun selain pengetahuannya terhadap Tuhannya, yaitu sejak Allah mengambil kesaksiannya sebelum dimasukkan kedalam kandungan ibunya, "….dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi"….S. Al A’raaf 172. Inilah pengetahuan sekaligus kesaksian awal dan hanya satu-satunya (tauhid) dari seorang manusia, sehingga dia disebut suci. Hanya saja tidak ada seorangpun yang mengingatnya. Karena itu Allah mengingatkannya melalui kitab suci Al Qur’an. Nah jika menjelang awal penciptaannya sebagai manusia (didalam kandungan) sampai dengan difungsikan panca inderanya, tidak ada sesuatupun yang diketahui seorang bayi melainkan ‘kesaksiannya’ terhadap Kebesaran Tuhannya, maka sebaliknya, semua wujud ciptaan bisa diketahui dan ‘disaksikan’ manusia dewasa kecuali Wujud Nya Sang Pencipta. Disinilah manusia tidak mampu mengetahui apalagi meyakini dengan total terhadap sesuatu yang bersifa@ � < |