IF YOU WANT TO HELP US PLEASE GIVE COMMENT AND DON'T FORGET TO SAY THANKS AND FURTHERMORE YOU CAN ALSO POST YOUR ARTICLES
Thursday, 25/04/2024, 20:59
[4Dl] - Download For Free -
Welcome Guest | RSS
Main Registration Login
Search

Site menu

Section categories
News [26]
Articles [22]
Kajian Islam [11]
Kata Mutiara [7]
Wisdom [7]
Pendidikan [3]
Puisi [29]
Kesehatan [42]
Sport [4]
Sepak Bola [4]
Piala Dunia 2010 [9]
Zeksualitas [6]
Life Style [2]
Kisah [1]
Kuliner [3]
Humor [4]
Software [1]
Anti-Virus [1]
Anti-Spyware [2]
Internet Tools [3]
Drivers [1]
Movies [8]
Music [4]
Multimedia [3]
Office [1]
Operating System [0]
Gosip [11]
Promosi [2]

Tag Board

Our poll
Rate my site
Total of answers: 3

Statistics

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0

Main » 2010 » June » 10 » Kesombongan Yang Tersembunyi
10:32
Kesombongan Yang Tersembunyi
Kesombongan yang tersembunyi


Bismillaahhirrohmaanirrohiim,

Ketika pertama kali Allah SWT. Menciptakan nafsu (jiwa), dia sudah bersikap sombong dihadapan Allah dan mengingkari ke-Tuhanan Allah.
Allah bertanya kepada nafsu : " Siapakah Aku ", lalu nafsu menjawab : " Engkau adalah Engkau, dan aku adalah aku. Kita adalah sendiri-sendiri ".
Mendengar kesombongan dan keingkarannya, seketika itu juga Allah memasukkan nafsu kedalam neraka selama seribu tahun.
Setelah dikeluarkan dari neraka, Allah bertanya lagi kepada nafsu dengan pertanyaan yang sama, dan dijawab pula oleh nafsu dengan jawaban yang sama.
Kemudian Allah memasukkannya lagi kedalam neraka selama seribu tahun, tapi kali ini Allah tidak memberi makanan kepada nafsu.
Setelah dikeluarkan dari neraka, Allah bertanya lagi : " Siapakah Aku ", baru kali ini nafsu menjawab dengan benar : " Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba Mu ".
Dari keadaan jiwa yang telah suci ini, Allah bertanya sekali lagi sebelum dimasukkan kedalam jasad manusia di alam kandungan seorang ibu :
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", S. Al A’raaf 172.
Demikianlah, Allah telah membekali kesucian (bersyahadat) kepada setiap jiwa manusia untuk melanjutkan perjalanan hidupnya dimuka bumi, menuju alam akhirat yang kekal.
Namun apa yang terjadi ?
Begitu Allah menguji manusia akan kebenaran syahadat Tauhidnya dengan menampakkan dunia beserta segenap keindahan dan kenikmatannya, manusia menjadi lalai kepada Tuhannya, (jiwa) manusia kembali sombong seperti pada saat pertama kali diciptakan.
Yaitu kesombongan akan kemampuan diri, seolah-olah tanpa Allah, dia mampu berbuat sesuai dengan apa yang dia kehendaki.
Penyebabnya sangat jelas, yaitu pengetahuan-pengetahuan alam dunia yang menyilaukan mata, sehingga orang tidak mampu lagi mengenali diri sebagai makhluk yang diciptakan.
Tapi memang demikianlah Kehendak Allah.
Manusia dilepaskan dialam dunia dengan potensi yang lain dan kondisi yang berbeda dibanding pada saat dia menempati alam yang suci.
Yaitu alam yang semata-mata hanya mengetahui ke-Esa an Wujud Kekuasaan Nya Allah melalui kesucian dirinya (pengbambaan yang total).
Dialam dunia yang serba kasar karena berwujud material, manusia diberi potensi yang sesuai sehingga bisa menangkap alam material ini dengan panca indera dan akalnya.
Disini manusia seolah-olah diperjalankan mulai dari nol, yaitu mulai dari saat kelahirannya yang tidak mengetahui apapun kemudian mengetahui alam dunia dengan akal pikirannya.
Dengan mengetahui alam semesta yang indah dan sangat besar ini, serta mengetahui kesempurnaan dirinya sebagai ciptaan yang amat sempurna, manusia diharapkan akan mengetahui dan sadar bahwa semuanya ini hanyalah sebagai ciptaan Dzat Yang Maha Agung dan Maha Besar.
Konsekwensinya, dia akan mencari dan mengetahui (mengenal) Tuhan Pencipta alam ini dengan mengerahkan segenap potensi yang dimilikinya.
Sehingga dia akan bisa mengagungkan Kebesaran Allah dengan pengagungan yang sesungguhnya, "….. Wakabbirhu takbiiroo” S. Al Israa’ 111,
" Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya ".
Mengagungkan Kebesaran Allah dengan sebenar-benarnya adalah : Tidak menyekutukan Allah dengan meyakini Maha Kuasa dan Maha Berkehendak Nya Allah dalam menciptakan apapun, menempatkan diri sebagai seorang hamba yang hina dan membutuhkan Allah, serta melakukan ketakwaan lahir dan batin kepada Allah.
Nah, mustahil seseorang akan bisa menempati kondisi seperti ini jika arah pandangnya hanya ditujukan kepada kenikmatan dan keindahan duniawi saja.
Sebab arah pandang seperti ini akan membuat manusia menjadi hamba atau penyembah dunia, yang mencintai dan memburu dunia beserta segala kemewahannya.
Jika yang dicintai dan dipuja-puja hanyalah ciptaan (makhluk), jelas dia sama sekali tidak mengharapkan perjumpaan dengan Sang Pencipta (Tuhan).
Oleh sebab itu, jika manusia berharap untuk bertemu dengan Penciptanya, tidak ada jalan lain kecuali beriman dan beramal sholeh, yang didasari oleh pengenalan dirinya sebagai ciptaan yang telah diciptakan Allah dengan sedemikian sempurnanya.
Karena tanpa melalui hal ini, sangat sulit manusia akan bisa menegakkan iman dan mengerjakan amal sholeh dengan ikhlas.
Dengan arah pandang yang selalu ditujukan untuk melihat sempurnanya wujud dan kejadian diri, orang tidak lagi sibuk memandang keluar dirinya yang berpotensi menimbulkan rasa cinta dan takut kepada selain Allah.
Arah pandang yang selalu ditujukan kedalam diri, akan membuat orang sibuk mengoreksi kesalahan diri sehingga tidak sempat mengoreksi kesalahan orang lain.
Arah pandang yang selalu ditujukan kedalam diri, akan membuat orang sibuk berusaha mengabdi kepada Penciptanya, sebagai wujud balas budinya kepada Allah, walaupun Allah tidak butuh balas budinya manusia (karena Allah Maha Kaya).
Rasulullah saw. bersabda : " Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya ".
Mengenal diri tidak cukup hanya sekedar mengetahui secara global bahwa diri kita adalah ciptaan Allah, tetapi mengetahui dengan merasakan semua kejadian dan potensi diri ini semuanya merupakan ciptaan Allah yang dianugerahkan kepada diri kita.
Dari sinilah kita akan mengetahui hakikat diri kita yang fakir miskin dan selalu membutuhkan apapun dari Allah.
Jika kita mengetahui hakikat diri kita yang fakir miskin, maka kita akan mengetahui Allah yang ber Sifat Maha Kaya melalui bukti bahwa Allah terus-menerus memberi apapun kebutuhan hidup kita.
Diibaratkan orang yang hidupnya sangat miskin dan sangat membutuhkan bantuan dari orang lain.
Orang yang hidupnya miskin, berarti dia telah merasakan (membuktikan) bagaimana susah dan menderitanya menjalani hidup.
Jika ada orang lain yang membantu kehidupannya, maka dia menjadi tahu bahwa orang yang membantu hidupnya itu adalah orang yang bersifat dermawan.
Berawal dari sinilah dia rela mengabdi kepada orang dermawan tersebut tanpa pamrih.
Dengan demikian, kerelaannya dalam mengabdi kepada orang dermawan itu, hanyalah semata-mata untuk membalas budi baik orang dermawan tersebut.
Hati manusia akan menjadi luluh dan lembut jika memperoleh kelembutan sikap dari orang lain.
Disinilah awal tumbuhnya rasa syukur.
Bandingkan dengan orang yang merasa cukup mampu sehingga tidak membutuhkan bantuan.
Walaupun ada orang lain yang membantunya, tidak ada goresan rasa terima kasih (syukur) didalam hatinya, dan juga dia tidak akan menganggap orang yang membantunya itu sebagai seorang dermawan.
Karena hakikatnya dia tidak membutuhkan bantuannya, karena dia tidak berada pada posisi sangat membutuhkan.
Demikian juga dengan kita yang memohon (berdo’a) kepada Allah, maka kita harus menempati posisi kita sebagai pemohon yang betul-betul membutuhkan pertolongan Allah.
Seperti kita yang setiap selesai sholat selalu memohon ampunan Allah (istigfar), walaupun kita tahu bahwa dosa-dosa kita sangatlah banyak, tetapi amat jarang kita betul-betul minta ampun dengan sangat menyesal atau dengan menangis.
Karena kita tidak pada posisi benar-benar merasa sebagai orang yang berdosa, sehingga seolah-olah tidak membutuhkan ampunan Allah.
Apalagi jika perbuatan dosa (terlarang) itu sudah menjadi kebiasaan, maka jelas minta ampunnya hanyalah ucapan yang kosong.
Memohon tapi dengan sikap dan kedudukan tidak sebagai pemohon, sama dengan permohonan palsu.
Jelas sangat berbeda kwalitasnya dengan orang memohon, yang kondisinya betul-betul sangat membutuhkan.
Orang-orang semacam ini, tanpa memintapun Allah pasti akan memberi.
Karena yang diperhatikan Allah bukan ucapannya, tapi kondisi hatinya yang benar-benar sangat membutuhkan.
Oleh sebab itu betapa banyak kita memohon petunjuk kejalan yang lurus, tetapi hampir tidak pernah kita mendapatkannya.
Karena kita tidak berada didalam suasana yang betul-betul membutuhkan hidayah Allah.
Kalau kita tidak berada didalam suasana seperti itu, maka jelas kita tidak mempunyai niat yang sangat kuat untuk melakukan hal-hal yang bertujuan untuk memperoleh hidayah.
Jika tidak mempunyai niat yang kuat untuk berbuat, apakah permohonan kita akan dinilai sebagai permohonan yang sungguh-sungguh ?
Kalau sudah seperti ini, lalu dimana posisi kita yang mengaku sebagai hamba (penyembah) yang hina dan selalu membutuhkan (memohon pertolongan) Allah ?
" Iyya kana’budu wa iyya kanasta’iin ", " Hanya kepada Mu kami menyembah dan hanya kepada Mu kami memohon ".
Disini kata memohon tidak hanya sekedar meminta atau berdo’a, tetapi mengandung arti sebagai ciptaan yang membutuhkan segala sesuatu dari Penciptanya.
Yaitu sebagai hamba yang bergantung dan berlindung sepenuhnya terhadap Tuhannya.
" Allaahush shomad ", artinya: " Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu " S. Al ikhlas 2.
Karena apalah artinya sebuah permohonan jika tidak benar-benar memohon, yaitu suatu kondisi yang betul-betul sangat membutuhkan.
Dan keadaan yang betul-betul sangat membutuhkan kepada Allah, tidak lain hanyalah dimiliki oleh orang yang berstatus sebagai hamba Allah.
Yaitu orang yang benar-benar mengetahui posisi dirinya sebagai ciptaan yang tidak memiliki apapun, dan mengetahui Allah sebagai Pencipta Yang memberikan apapun.
" Hanya kepada Mu kami menyembah…..” atau dengan kata lain : " Hanya kepada Mu kami menghamba…..”
Jika seseorang telah berikrar bahwa hanya Allah lah yang disembah, bukan harta dunia dan bukan mentaati bisikan setan dan hawa nafsunya, maka layaklah dia disebut hamba Allah.
Dan seorang hamba adalah orang yang mengetahui kedudukannya sebagai abdi yang hanya bergantung kepada Tuhannya Yang Maha Kaya dan Maha Pemurah.
Dijaman perbudakan, seorang budak belian (hamba sahaya) adalah orang yang tunduk patuh kepada tuannya, karena dia tidak merasa memiliki apapun walaupun terhadap dirinya sendiri.
Seluruh hidup dan matinya adalah milik tuannya, seluruh diam dan perbuatannya hanyalah ditujukan untuk mengabdi kepada tuannya.
Hanya saja hampir semua tuan-tuan ini, tidak memperlakukan para budaknya sebagaimana manusia secara layak, yang mempunyai hak untuk hidup dan berbahagia.
Mereka bagaikan penguasa yang kejam, bengis, semena-mena dan semaunya sendiri.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan Sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta Maha Adil dan Bijaksana.
Manusia yang hakikatnya milik Allah dan diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, malah diberi kebebasan untuk memilih : mengabdi kepada Allah atau mengabdi kepada selain Allah.
Yaitu mengabdi kepada setan dan mengabdi kepada (keinginan) dirinya sendiri.
Allah tidak akan menyiksa orang-orang yang tidak menyembah Nya, bahkan tetap memberi hidup dan kehidupan kepada orang-orang yang ingkar serta menghujat Nya.
”….. Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri " S. Ali ‘Imraan 117.
Nah manusia yang hakikatnya adalah hamba Allah, akan menuai hasil yang buruk apabila waktu, tanaga (kemampuan) dan gerak hidupnya digunakan untuk mengabdi selain Allah.
Karena apapun yang dia butuhkan telah disediakan dengan gratis oleh Allah, tetapi dia menggunakan semua yang dari Allah itu untuk menyembah (mempertuhankan) selain Allah.
Orang yang merasa berat atau bahkan menolak untuk menghamba kepada Allah, tidak lain karena dia tidak mengetahui dengan betul bahwa semua kebaikan dan fasilitas hidup adalah dari Allah (innalillaah) serta semuanya akan kembali kepada Allah (wa innaa ilaihi rooji’uun).
Itulah sebabnya, walaupun dalam sholatnya dia selalu berkata : " Inna sholaatii wanuzuuki wamahyaaya wamamaati lillaahi robbil ‘aalamiin ", " Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam ", tetapi sikap dan perbuatannya sama sekali tidak mencerminkan sebagai seorang hamba yang menyerahkan seluruh gerak dan diamnya, hidup dan matinya hanyalah bagi Allah.
Orang yang tidak mengetahui dengan sebenar-benarnya bahwa semuanya adalah dari Allah, maka dihatinya tidak ada rasa syukur kepada Allah.
Jika dihati manusia tidak ada rasa syukur kepada Allah, maka dia akan merasa berat untuk mengabdi kepada Allah.
Dan yang lebih berbahaya lagi, jika didalam hati tidak ada rasa syukur, maka hati semacam ini akan diisi dan dipenuhi oleh berbagai macam tuntutan (keinginan) yang berorientasi kepada kesenangannya sendiri.
Karena apa yang dilihat, didengar, dicium atau dirasakan terasa manis, nikmat dan indah, akan menumbuhkan rangsangan yang kuat dihatinya untuk merasakan atau memiliknya.
Jika didalam hati itu hanya ada keinginan-keinginan, maka dia akan menumbuhkan tuntutan –tuntutan yang harus segera terpenuhi.
Disinilah manusia itu akan bergerak (menjalani aktifitas) dalam hidupnya demi mencapai kesenangan yang dituntut oleh jiwanya.
Setelah tercapai tuntutan yang pertama, dia akan bergerak lagi untuk memenuhi tuntutan yang kedua, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya tanpa ada henti-hentinya.
Jika sudah demikian, maka berpalinglah dia dari Allah karena segenap perhatiannya hanya dicurahkan kepada selain Allah.
" Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia: dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa " S. Al Israa’ 83.
Nah jika tuntutan jiwa itu tidak terlaksana atau tidak membawa hasil, hatinya akan resah dan gelisah, lalu tumbuhlah sifat iri, dengki, dendam terhadap orang-orang yang berhasil.
Tetapi sebaliknya, jika keinginannya itu membawa hasil, hatinya akan bangga dan puas.
Lalu tumbuhlah sifat sombong, tidak mau diremehkan bahkan selalu merendahkan orang lain.
Dalam kondisi yang tinggi hati seperti ini, dia enggan untuk kembali kebawah, yaitu menempati posisinya lagi sebagai seorang hamba yang hina dihadapan Tuhannya Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia.
Dan yang lebih gawat lagi, dia tidak lagi merasa butuh kepada Allah, yaitu membutuhkan hidayah untuk ketentraman jiwa dan akhiratnya, karena hatinya sudah cukup merasa bahagia dengan dunianya.
" Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup " S. Al ‘Alaq 6-7.
Orang yang merasa cukup, segala sesuatunya bisa terpenuhi dengan hartanya, dengan kekuasaannya, dengan kemampuannya atau dengan ilmunya, jelas sikap syukurnya tidak menembus kedalam batinnya.
Dengan kata lain : dia tidak merasa memerlukan Allah untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Jika seseorang itu sudah merasa cukup, bahwa segala keperluan hidupnya bisa dia penuhi dengan dunianya, maka jelas dia tidak lagi butuh kepada (Pertolongan Nya) Allah.
Inilah orang-orang yang sombong, yaitu orang yang benar-benar melampaui batas.
Karena telah menjadikan harta dunianya sebagai dewa penolong, walaupun selain itu dia juga tetap memper Tuhankan Allah.
Kalau sudah demikian, apakah masih mempunyai arti ucapannya : " Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah " ?.
Karena konsekwensi dari orang yang memper-Tuhankan Allah adalah : Meyakini tidak ada Pencipta, Pengatur, Pemberi, Penguasa selain dari pada Allah.
Jika ada yang bertanya : " Apakah orang Islam tidak boleh kaya ?”.
Kita tegaskan : orang Islam harus kaya.
Tetapi hendaknya kekayaan orang Islam tidak hanya dari segi materi saja, yang jauh lebih penting lagi adalah kaya hati (rohani) nya karena Rahmat dan Hidayah Allah.
Karena kekayaan batiniah, jauh lebih besar nilainya dari pada kekayaan lahiriah.
Seseorang yang telah memiliki kekayaan batiniah, pasti akan rela jika harus mengorbankan kekayaan lahiriah untuk kebaikan orang lain, karena nilainya sangat kecil.
Diibaratkan orang yang memiliki uang sebanyak satu milyar, pasti dia rela memberi satu juta kepada orang yang membutuhkannya, apalagi kepada saudaranya (sesama makhluk).
Nah, kalau yang diburu hanya kekayaan materi jasmaniah saja tanpa berusaha mengejar kekayaan batiniah, maka manusia tidak akan memiliki akhlak yang baik (takwa).
Maka jangan heran kalau sebagian aparat dinegeri ini adalah para aparatur yang korup.
Islam agamanya, tetapi korupsi dan memperkaya diri adalah amal ibadahnya.
Oleh sebab itu sangat tepat jika Rasulullah saw. menolak tawaran malaikat Jibril yang hendak menjadikan gunung Uhud menjadi emas untuk kesejahteraan hidup beliau.
Dengan memberi contoh kehidupan yang sangat miskin saja banyak umat Islam yang tidak mau menirunya.
Apalagi seandainya beliau saw. hidup dengan bergelimang harta.
Pasti umat Islam akan menjadi umat yang paling kaya dan paling rakus didunia.
Disinilah bahayanya orang yang merasa serba cukup dengan dunianya, maka akibatnya dia tidak lagi menghiraukan dan membutuhkan Tuhannya.
Perlu disadari bahwa manusia pada hakikatnya hanya mempunyai satu titik konsentrasi.
Manusia hanya memiliki satu pusat perhatian.
Jika pusat perhatiannya lebih tercurah kepada kenikmatan dunia dan jasad lahirnya, maka perhatiannya kepada akhirat dan kebahagiaan hatinya jelas terabaikan.
" Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik " S. At Taubah 24.
Pusat perhatian atau pengetahuan-pengetahuan yang lebih dititik beratkan kepada dunia, akan membuat orang lupa diri karena alam pikirannya telah dikuasai dunia yang diburunya.
Orang yang memburu dunia, jelas hatinya mempunyai ketertarikan yang sangat kuat terhadap dunia yang sedang diburunya.
Disinilah awal tumbuhnya kefasikan didalam diri manusia, sehingga dia tidak mendapat hidayah, karena memang bukan Nur Allah yang dikejar tapi mengejar kemilaunya dunia.

Nah bukan hanya sekedar cukup dari segi materi saja, kita yang sudah merasa cukup sehat dan cukup memiliki kemampuan untuk berusaha, seringkali lalai dan tidak lagi membutuhkan Allah.
Seolah-olah kesehatan dan kemampuan diri inilah yang membuat kita bisa meraih apapun yang kita butuhkan walaupun tanpa Pertolongan Allah.
Baru kalau usaha kita mengalami kesulitan atau kita jatuh sakit, Allah sangat berarti bagi kita untuk menolong kesulitan kita.
Ini berarti kita telah merasa cukup dengan kesehatan dan kemampuan kita, sehingga kita tidak lagi mengandalkan Allah dan membutuhkan Pertolongan Nya.
Ini juga mengandung arti bahwa tanpa sadar Allah telah kita hilangkan dan digantikan posisinya dengan kemampuan diri.
Yang tak kalah bahayanya adalah merasa cukup dengan ilmu agama dan amal ibadahnya.
Orang yang sudah merasa cukup dengan ilmunya, pasti akan sombong dengan ilmu yang dimilikinya, sehingga seringkali mudah menyalahkan orang yang tidak sepaham dengannya
Demikian juga dengan orang yang bangga dengan amalnya, mudah sekali mengecilkan orang lain yang tidak beramal atau orang yang sedikit amalnya.
Seolah-oleh dengan amal ibadahnya, dia telah menjadi seorang abdi yang taat.
Seolah-olah surga bisa dibeli dengan amal ibadahnya yang belum tentu ikhlas.
Orang yang sudah merasa cukup dengan ilmu dan amalnya, tidak ada lagi kemauan yang keras untuk menambah ilmu dan amalnya.
Inilah kesombongan-kesombongan yang tersembunyi dibalik baju-baju ketakwaan yang disandang oleh sebagian kaum muslimin.
" Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong. Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong " S. An Nahl 22-23.
Tidak hanya sombong dalam bentuk ucapan atau perbuatan, kesombongan yang terlintas didalam hati, pasti akan diminta pertanggung jawabannya.

Wallohu ‘alam bishshowaab.

Category: Kajian Islam | Views: 912 | Added by: tri | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Only registered users can add comments.
[ Registration | Login ]
Login form

Calendar
«  June 2010  »
SuMoTuWeThFrSa
  12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
27282930

Entries archive

Site friends
  • Create a free website

  • Copyright MyCorp © 2024